Skip to content Skip to left sidebar Skip to right sidebar Skip to footer

Mengenal Kami

Falsafah Wayang

WAYANG adalah hasil budaya spiritual Bangsa Indonesia, berasal dari pulau Jawa, yang pada asal-mulanya menggunakan bahasa Kawi Bujangga sebagai bahasa pengantarnya. Kemudian bahasa pengantar ini mengalami perubahan sesuai perkembangan bahasa daerah, seperti di Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda, di Jawa Timur dan Jawa Tengah menggunakan bahasa Jawa.

ISTILAH – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Wayang diartikan sebagai boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dan sebagainya), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.

UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).[1]

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul jauh sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu-Jawa. Walaupun belum ada bukti tertulis yang menunjukkan wayang telah ada sebelum agama Hindu masuk ke Indoneisa. Namun, kegeniusan lokal dan kebudayaan yang ada sebelum masuknya Hindu menyatu dengan perkembangan seni pertunjukan yang masuk memberi warna tersendiri pada seni pertunjukan di Indonesia. Sampai saat ini, catatan awal yang bisa didapat tentang pertunjukkan wayang berasal dari Prasasti Balitung pada Abad ke 4 yang berbunyi si Galigi mawayang.[2]

NILAI FILOSOFI, ETIKA DAN ESTETIKA

  1. Nilai yang terkandung dalam Pewayangan yakni “nilai budaya” merupakan konsep mengenai apa yang hidup dalam pikiran masyarakat Indonesia, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup.
  2. Filosofi yang terkandung dalam wayang tak ada habisnya, dunia perwayangan kaya sekali dengan lambang atau pasemon (petuah), bahkan hampir seluruh eksistensi wayang itu sendiri adalah pasemon.
  3. Etika sebagai ilmu yang mengajarkan manusia “bagaimana seharusnya hidup”, atau Plato memandangnya sebagai ilmu yang mengajar manusia “bagaimana manusia bijaksana hidup”, Hal ini sesuai dengan konsep etika menurut wayang yakni mendidik manusia ke arah tingkah laku yang sempurna, yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
  4. Keindahan atau estetika merupakan bagian dari sebuah filsafat, sebuah ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Batasan keindahan sulit dirumuskan. Karena keindahan itu abstrak, identik dengan kebenaran. Maka batas keindahan pada sesuatu yang indah, dan bukannya pada “keindahan sendiri”

Wayang termasuk karya seni dan budaya Indonesia yang adi luhung. Di samping bernilai filosofi yang dalam, wayang juga sebagai wahana atau alat pendidikan moral dan budi pekerti atau yang dikenal dengan etika. Dunia perwayangan memberi peluang bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan suatu pengkajian filosofi dan mistis sekaligus (lahir dan batin). Di sisi lain, cerita wayang merupakan suatu jenis cerita didaktik yang di dalamnya memuat ajaran budi pekerti yang menyiratkan tentang perihal moral. Bahkan bidang moral merupakan anasir utama dalam pesan-pesan yang disampaikan cerita wayang.[3]

FILSAFAT DAN WAYANG – keduanya tidak dapat dipisahkan. Berbicara tentang wayang berarti kita berfilsafat. Wayang adalah filsafat budaya Indonesia. Karena wayang mengambil ajaran-ajarannya dari sumber sistem-sistem kepercayaan, wayang pun menawarkan berbagai macam filsafat hidup yang bersumber pada sistem-sistem kepercayaan tersebut, yang dari padanya dapat kita tarik suatu benang merah filsafat wayang.[3]

JENIS-JENIS WAYANG MENURUT BAHAN PEMBUATAN

  1. Wayang Kulit: Wayang Purwa – Wayang Madya – Wayang Gedog – Wayang Dupara – Wayang Wahyu – Wayang Suluh – Wayang Kancil – Wayang Calonarang – Wayang Krucil – Wayang Ajen – Wayang Sasak – Wayang Sadat – Wayang Parwa – Wayang Arja – Wayang Gambuh – Wayang Cupak – Wayang Beber.
  2. Wayang Bambu: Wayang Golek Langkung
  3. Wayang Kayu: Wayang Golek – Wayang Papak – Wayang Klithik – Wayang Timplong – Wayang Potehi – Wayang Ajen.
  4. Wayang Orang: Wayang Gung – Wayang Topeng.
  5. Wayang Plastik: Wayang Motekar.
  6. Wayang Rumput: Wayang Suket.

Kehadiran wayang tidak dapat dipisahkan dalam komunikasi. Sebab, di samping isinya menggambarkan tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam rangka interaksi antar umat manusia, juga mengemban fungsi sebagai media komunikasi, yakni menjadi alat untuk menyampaikan pesan-pesan, utamanya yang berhubungan dengan bidang etik. Karena pesan-pesan etik senantiasa dikemukakan secara eksplisit, malah seringkali secara implisit tersirat dalam alur cerita, maka diperlukan penafsiran terhadap makna-makna simbolik yang tersirat. Untuk kepentingan komunikasi, dunia ideal itu dieksternalisasikan ke dalam dunia material, baik dalam bentuk perilaku verbal yang menghasilkan teks ataupun perilaku kinesik. Ditinjau dari idealisme, pergelaran wayang terkait dengan proses komunikasi, dimana pengetahuan dan kemauan yang berkenaan dengan etika dieksternalisasikan.[3]

Selain sebagai sebuah seni pertunjukan, Perwayangan juga memuat anasir pendidikan. Karena itu, dapat digunakan sebagai salah satu media dalam upaya untuk mengubah tingkah laku atau sikap seseorang dalam rangka mendewasakan manusia. Wayang juga merupakan momentum untuk menguatkan kepribadian dan kebudayaan bangsa yang terus bergerak, terkait pentingnya wayang dalam kehidupan budaya Indoneisa, Wayang harus tetap dilestarikan, diceritakan, diaplikasikan sebagai suatu hal yang penting dalam kehidupan masyarakatnya.

“Wayang tak pernah selesai ditulis. Wayang akan selalu ditafsir, ditulis ulang dan terus akan ditulis ulang. Sampai kelak, oleh kalian dan anak cucu kalian. Hanya IQ Melati yang menyangka bahwa Wayang telah silam.” – Sujiwo Tejo

Selengkapnya lihat di  [button text=”ENSIKLOPEDI WAYANG” link=”https://www.akp.or.id/ensiklopedi-wayang/” style=”inverse” size=”normal” target=”_self” display=”inline” icon=”no”]

 ———————————————————————————————————-
REFERENSI:
[1]
Wikipedia. (2004, Mei) Wikipedia Ensiklopedia Bebas. [Online]. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Wayang&stable=1
[2]
Pandoe. (2016, Februari) Seni Budaya dan Kesenian. [Online]. http://pandoe.rumahseni2.net/sejarah-wayang-nusantara/
[3]
RM Yunani Prawiranegara, “Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang,” Makalah, Januari 2011.

Pasewakan

Pasewakan merupakan tempat/ruang para Penghayat Kepercayaan mengadakan pertemuan, serta digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan para Penghayat Kepercayaan seperti Kliwonan, acara Pangéling-éling, saresehan antar pengurus, warga dan prawarga Organisasi Penghayat Kepercayaan.

Pada Zaman kerajaan Majapahit, Pasewakan merupakan pertemuan tahunan para raja di bawah bendera Majapahit. Sedangkan dalam sebuah bangunan keraton Yogyakarta, Pasewakan diartikan sebagai bagian dari sebuah ruang bangunan yang disebut Bangsal Pengapit artinya tempat para senopati perang/manggalayudha mengadakan pertemuan, serta digunakan sebagai tempat menunggu perintah-perintah dari sultan.

Organisasi Aliran Kebatinan “PERJALANAN” memiliki beberapa pasewakan diantaranya:

  • Pasewakan Bina Budi Kinasihan. DKI Jakarta.
  • Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih. Ciparay, Jawa Barat (Pusat).
  • Pasewakan Hangudi Budi Utomo. Tulungagung, Jawa Timur.
  • Pasewakan Sasana Bina Budi Pakarti. Klaten, Jawa Tengah.
  • Pasewakan Runtut Raut Sauyunan. Kota Cimahi.
  • Pasewakan Marganing Rahayu. Kabupaten Ponorogo.
  • Pasewakan di Kabupaten Blitar.
  • Pasewakan di Kabupaten Kediri (Dalam proses pembangunan).
  • Pasewakan Budi Ciptaning Rasa. Kecamatan Jatiasih, Bekasi.
  • Pasewakan Bina Bakti Medal Sampurna. Kecamatan Jatisampurna, Bekasi.
  • Pasewakan Mustika Kartaning Rahayu. Kecamatan Mustikajaya, Bekasi.
  • Pasewakan di Kecamatan Cimenyan (Dalam proses pembangunan).
  • Pasewakan di Kecamatan Rancaekek.
  • Pasewakan Wiru Sajatining Rasa. Kecamatan Gunung Halu.
  • Pasewakan Wangun Sari Jati Mandiri. Kecamatan Parongpong.
  • Pasewakan Gapuraning Rahayu. Kecamatan Nanjung.
  • Pasewakan Mara Sabda. Kecamatan Ciwidey.

 

 FILOSOFI BANGUNAN~ Bentuk bangunan pasewakan dipengaruhi oleh:

  1. Pendekatan Geometrik, dikuasai oleh kekuatan sendiri (manusia);
  2. Pendekatan Geofisik, tergantung pada kekuatan alam lingkungan.

Kedua pendekatan tersebut mempunyai perannya masing-masing, situasi dan kondisi yang menjadikan salah satunya lebih kuat sehingga menimbulkan bentuk dan nama yang berbeda tiap pasewakan yang ada jika salah satu perannya lebih kuat. Bangunan Pasewakan merupakan kesatuan dari nilai seni dan nilai bangunan sehingga merupakan nilai tambah dari hasil karya budaya manusia yang dapat dijabarkan secara keilmuan.

Dilihat dari bentuk atau tampak semua bangunan pasewakan yang ada di Organisasi Aliran Kebatinan “PERJALANAN”, pasewakan termasuk dalam bangunan berbentuk joglo. Joglo merupakan gaya bangunan tradisional Jawa. Bentuk atapnya menyerupai gunungan, atap joglo seolah-olah patah menjadi tiga bagian yaitu: brunjung, penanggap dan panitih. Bangunan joglo dalam pemahaman Jawa merupakan cerminan sikap, wawasan serta tingkat ekonomi-sosio-kultular masyarakatnya.

Pada dasarnya joglo memiliki struktur utama pada bangunan adat jawa sering disebut sebagai “SOKO GURU”. Soko guru merupakan sebutan untuk tiang atau kolom yang berjumlah empat dan juga atap 4 belah sisi dengan sebuah bubungan di tengahnya. Soko guru berfungsi menahan beban diatasnya yaitu balok tumpang sari dan brunjung, molo, usuk, reng dan genteng. Soko guru berfungsi sebagai konstruksi pusat dari bangunan joglo. Itu dikarenakan letaknya di tengah–tengah bangunan tersebut.

Jenis-jenis bangunan joglo: Jompongan Pokok, Ceblokan, Kepuhan Limolasan, Lambangsari, Semar Tinandu, Kepuhan Lawakan, Kepuhan Awitan, Wantah Apitan, Sinom Apitan, Pengrawit Bangsal, Mangkurat Bangsal dan Hageng Pendopo.

Perbedaaan konsep dari bangunan joglo yang ada di pasewakan adalah tidak adanya pembagian ruang. Tidak seperti bangunan joglo biasanya yang memiliki pembagian ruang seperti: Teras, Pendopo, Pringgitan, Dalem Ageng, Krobongan, Gandhok, Pawon, Dapur dll. Hal tersebut dapat dilihat dari segi fungsi bangunan pasewakan, yang digunakan untuk pertemuan/mengadakan kegiatan. Jadi pada dasarnya, bangunan pasewakan memiliki ruang terbuka (sunda:lega) dengan denah persegi. Persepsi warga penghayat Aliran Kebatinan “PERJALANAN” melihat dari bentuk denah segi empat/persegi tersebut mempunyai banyak arti, masing-masing warga mengartikannya berbeda sesuai dengan yang mereka pelajari dan dari sudut pandang mana mereka melihat. Sebagai contoh denah persegi tersebut dapat diartikan Sedulur Papat Kalima Pancer, Mata Angin, Sederet empat, Unsur Hidup dll.

denah

Nilai ketuhanan yang digambarkan dalam konsep manunggaling kawula Gusti, tercermin pada estetika struktur kolom dengan diagonal tengah sebagai pusat. Pola susunan usuk memusat juga mengarah ke atas, demikian pula struktur atap susun tiga yang menggambarkan dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Lebih dari itu, bangunan pasewakan ini masih perlu dikaji secara ilmiah karena banyaknya struktur, bentuk serta filosofi yang ada belum tergali secara menyeluruh. Untuk itu, kiranya sangat penting menumbuhkan kecerdasan rasa dengan menggali estetika sebagai sumber nilai dalam upaya mangasah mangising budi (mencerdaskan perasaan) agar tanggap ing sasmita (responsif terhadap lingkungan). Dalam literatur Jawa disebutkan bahwa kecerdasan rasa melampaui batas terhadap kepekaan ke lima indera manusia, sehingga ia termasuk indera ke enam. Dalam tataran ini telah sampai pada tataran yang cerdas rasa.

Pendidikan nilai budaya yang mengorientasi ke cerdas rasa sangat potensial untuk menumbuhkan jiwa individu, bukan saja memiliki kepekaan terhadap lingkungannya (fisik dan sosial budaya), tetapi juga kemampuan imajinasi, serta menumbuhkan etika sopan santun serta jiwa seimbang, bahkan mampu mengembangkan sikap dan perilaku inovasi keratif. Estetika lokal yang dicontohkan pada bangunan pasewakan berbentuk joglo, yang merupakan realitas kolektif itu sepantasnya disejajarkan kedudukannya untuk mencerdaskan pandangan hidup masyarakat, dalam menyeimbangkan kecerdasan nalar dan rasa.

Video Pasewakan Aliran Kebatinan “PERJALANAN”:

Siapa Mereka ?

Wangsit tuntunan ajaran Kebatinan “PERJALANAN” diterima pada tanggal 17 September 1927, tepatnya pukul 12.00 siang, baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama oleh Bapak Mei Kartawinata, Bapak M. Rasyid dan Bapak Sumitra, bersifat suara yang didengar secara jelas dan gambling dan dalam bentuk gerakan perbuatan yang dilakukan oleh beliau masing-masing dan/atau yang diperbuat oleh pihak lain terhadap beliau bertiga. Tepatnya adalah kampong Cimerta Subang, Jawa Barat. Ketiga Bapak tersebut telah berikrar satu sama lain sebagai saudara untuk hidup rukun berdampingan dan saling mencintai. Namun demikian, meskipun sepanjang pandangan hidupnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mencapai kesenangan, tapi cara dan ruang lingkupnya berlainan.

Bagi Bapak M. Rasyid yang disebut senang ialah bersifat sangat pribadi, yaitu untuk mencapainya (kalau perlu) dengan mengalahkan orang lain, baik dengan kekuatan jasmaniah maupun rohaniah. Maka beliau mempunyai kekuatan kanuragan dan jaya kawijayan. Pada waktu itu beliau belum mempunyai tandingannya. Hal ini membuat beliau menjadi senang, sebab segala kemauannya terpenuhi.

Bagi Bapak Sumitra, yang dinamakan senang itu, bilamana beliau tidak diganggu oleh orang lain, dan beliaupun tak perlu mengganggu orang lain. Untuk bias mengimbangi suasana dan keadaan, jika sewaktu-waktu ada pihak lain yang berani mengganggunya, beliau mempunyai kekuatan kanuragan dan jaya kawijayan juga, sehingga siap untuk menghadapinya baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Beliau senang kalau suasana dan keadaan tenang-tenang saja.

Lain lagi bagi Bapak Mei Kartawinata, kesenangan itu harus meliputi setiap orang, tidak terkecuali, dan dinikmatinya secara bersama-sama. Maka kesenangan harus diwujudkan dan dipertahankan secara bersama-sama pula. Dilihat dari sudut ini, Bapak Mei Kartawinata ,erasa tidak perlu untuk mempunyai kanuragan dan jaya kawijayan, yang penting ialah pendekatan dan saling pengertian

Menurut anggapan Bapak M. Rasyid sikap ini adalah sangat lemah yang perlu dikasihani, sehingga dengan bangga beliau menyatakan keinginannya itu menurunkan segala ilmunya dengan segala kemampuannya, sebagai tanda kasih sayang kepada saudara angkatnya.

Akan tetapi oleh Bapak Mei Kartawinata ditolak dengan cara yang halus. Oleh karena hal ini terjadi berulang kali, penolakan ini membuat Bapak M. Rasyid menjadi penasaran. Pada suatu hari tetangga dekat yang menjadi rekan sekerja bernama Sukna jatuh sakit. Ia meminta pertolongan kepada Bapak M. Rasyid, akan tetapi tidak berhasil. Kemudian dimintanya pertolongan Bapak Sumitra, juga tidak berhasil, akhirnya dimintalah pertolongan dari Bapak Mei Kartawinata dan hasilnya di luar dugaan si sakit sembuh seketika.

Kenyataan itu membuat Bapak M. Rasyid menjadi berang dan tidak senang, bahkan menimbulkan prasangka, bahwa selama berlangsungnya ikatan persaudaraan Bapak Mei Kartawinata menyembunyikan ilmunya dan tidak terus terang. Oleh sebab itu Beliau merasa dikalahkan, dan membuatnya lebih penasaran lagi, Bapak M. Rasyid secara terbuka menantang Bapak Mei Kartawinata untuk mengadu kekuatan.

Sekalipun dengan amat merendah, Bapak Mei Kartawinata menyatakan tidak mempunyai sesuatu ilmu apapun, tetapi hal ini menambah kemarahan Bapak M. Rasyidkarena merasa diremehkan, Beliau menghina habis-habisan kepada Bapak Mei Kartawinata. Secara sepihak Bapak M. Rasyid menetapkan hari dan waktu untuk menyelesaikan perkelahian dengan bertempat di hutan tutpan Cimerta di pinggir kali Cileuleuy.

Menjelang saatnya tiba, Bapak Mei Kartawinata berputus asa setelah mempertimbangkan bahwa :

  1. Sangat sulit untuk mengalahkan Bapak M. rasyid. Oleh karena itu beliau akan lebih baik menemui ajalnya dari pada harus berkelahi. Kalaupun perkelahian itu sampai terjadi, berarti pembunuhan terhadap saudara angkat pun terjadi. Dan dengan dalih apapun hal itu adalah perbuatan yang tidak terpuji.
  2. Kalau terus mengalah akan menambah kemarahan Bapak M. rasyid yang merasa dirinya diremehkan dan dikelabui oleh saudara angkat yang menyembunyikan ilmunya, sehingga mungkin sekali apapun akibatnya yang harus dipikul Bapak M. Rasyid akan tetap bias membunuhnya.

Kedua hal itu tidak boleh terjadi dan satu-satunya pilihan agar hal itu tidak terjadi, Bapak Mei Kartawinata memilih jalan bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri. Adapun tempatnya yang dipilih, yaitu jembatan gantung setinggi kurang lebih 10 meter dengan dasar bebatuan.

Di tengah perjalan, entah dari mana datangnya dan siapa pula gerangan orangnya, dengan jelas Bapak Mei Kartawinata mendengar suara, yang untuk seterusnya di jadikan pegangan sebagai WANGSIT :

  1. jangan membiarkan dirimu dihina dan direndahkan oleh siapapun, sebab dirimu tidak lahir dan besar oleh sendirinya, akan tetapi dilahirkan dan dibesarkan penuh dengan cinta kasih Ibu dan Bapakmu. Bahkan dirimu sendirilah yang melaksanakan segala kehendak dan cita-citamu, yang seyogyanya kamu berterimakasih kepadanya.
  2. Barang siapa menghina dan merendahkan dirimu, sama juga artinya dengan menghina dan merendahkan Ibu Bapakmu, bahkan Leluhur Bangsamu.

Suara itu menimbulkan semangat dan harapan baru. Dengan menyerahkan segala persoalan dan penyelasaiannya kepad Tuhan Yang Maha Esa, dalam perjalanan pulang kembali, Bapak Mei Kartawinata bertemu dengan Bapak Sumitra yang menyatakan akan membantunya melawan Bapak M. Rasyid. Pernyataan itu membuat Bapak Mei Kartawinata gembira. Setelah saatnya tiba, Bapak M. Rasyid dating menjemputnya dan kemudian pergi bersama-sama diikuti Bapak Sumitra, seolah-olah tiada suatu apapun diantara beliau bertiga, sehingga tidak mengundang kecurigaan apapun. Sesampainya ditempat yang telah ditentukan Bapak M. Rasyid langsung mengambil tempat dan duduk bersila seperti tafakur. Sedangkan Bapak Sumitra berdiri santai dan Bapak Mei Kartawinata berada di sisinya.

Kiranya dalam keadaan itu Bapak M. Rasyid memusatkan kekuatan magisnya untuk menguasai Bapak Sumitra, dan berhasil. Tanpa diduga sama sekali, Bapak Sumitra melayngkan tangannya kepada Bapak Mei Kartawinata, yang sampai terpenjat oleh keadaan yang sekonyong-konyong berubah dan berbalik. Masih untung tendangan itu dilakukan oleh Bapak Sumitra dalam keadaan tidak sadarkan diri, sebab jika hal itu terjadi dalam keadaan normal akibatnya akan lain.

Dengan daya reflek BApak Mei Kartawinata berhasil menangkap kaki yang melayang dan bersamaan dengan tiu, mengangkatnya mengikuti ayunan kaki, sehingga tubuh Bapak Sumitra yang pendek kecil itu terangkat dan langsung dibanting keatas tubuh Bapak M. Rasyid yang sedang khusuk bertafakur.

Kejadian yang tidak terduga ini menimbulkan dua akibat :

Pertama           : Bapak Sumitra memperoleh kesadarannya kembali dan langsung menyerang       Bapak M. rasyid dan membuatnya tidak berdaya

Kedua             : adanya perubahan situasi yang sangat mendadak, Bapak M. Rasyid kehilangan control diri, sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan ilmu simpanannya sehingga kehilangan segala daya dan kekuatan yang menjadi andalannya.

Maka selesailah perkelahian dengan ketegangannya, yang disusul pernyataan saling maaf memaafkan dan berpelukan, dengan menghapus segala prasangka dan rasa bermusuhan. Maka lahirlah WANGSIT :

  1. Tiada lagi kekuatan dan kekuasaan yang melebihi Tuhan Yang Maha Belas dan Kasih itupun dapat mengatasi dan menyelesaikan segala pertentangan / pertengkaran bahkan dapat memadukan faham dan usaha untuk mencapai tujuan yang lebih maju, serta menyempurnakan akhlak dan meluhurkan budi pekerti manusia.

Menyusul lahirnya wangsit ini, BApak-Bapak ini mengikrarkan untuk tidak lagi menggunakan semua kekuatan kanuragan dan jaya kawijayan untuk masa-masa selanjutnya.

Selesai membenahi diri dan beristirahat, Bapak Mei Kartawinata memperhatikan aliran sungai Cileuleuy sambil berbicara dalam hati “Alangkah besarnya Tuhan Yang Maha Esa, air yang keluar tetes demi tetes dari sumbernya bersatu padu sehingga mewujudkan kali. Dan selai itu sempat memberikan kesejahteraan pada pepohonan, binatang, bahkan kepada manusia, sambil terus menuju tujuan akhir, yaitu lautan. Sekiranya hal ini terjadi pada diri manusi, alangkah besarnya manfaatnya untuk kesejahteraan dunia dan isinya, dan kembali kepada asal semuanya, ialah Tuhan Yang Maha Esa”.

Seketika itu terdengarlah suara tanpa wujud dan rupa oleh ketiga Bapak itu bersifat WANGSIT :

  1. Dengan kagum dan takjub kamu menghitung tetesan air yang mengalir merupakan kesatuan mutlak menuju lautan, sambil member manfaat kepada kehidupan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi belum pernah kamu mengagumi dan takjub terhadap diri sendiri yang telah mempertemukan kamu dengan dunia dan isinya. Bahkan belum pernah kamu menghitung kedip matamu dan betapa nikmat yang kamu telah rasakan sebagai hikmah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Karena suara itu terdengar dari dalam hutan, menimbulkan rasa kaget dan takut diantara beliaubertiga, dan serentak berdiri bersama-sama kea rah pohon gempol yang letaknya agak jauh. Karena kehabisan nafas, beliau bertiga duduk bersimpuh, tetapi seketika itu juga terdengar WANGSIT berturut-turut :

  1. Kemana kamu pergi dan dimana kamu berada, Tuhan Yang Maha Esa selalu beserta denganmu.
  2. Perubahan besar dalam kehidupan dan penghidupan manusia akan menjadi pembalasan terhadap segala penindasan serta mencetuskan / melahirkan kemerdekaan hidup bangsa.

Disebabkan badannya sudah terlalu lemah, maka beliau bertiga tetap berdiam diri sambil beristirahat pasrah terhadap keadaan apapun yang akan terjadi. Sesudah pulih kekuatan dan akan pergi meninggalkan tempat, terjadilah suatu keganjilan.

Bapak Mei Kartawinata serasa mendengar semua pepohonan, binatang, dan lai-lain yang ditemui, semuanya berbicara, bahwa semuanya telah memenuhi kewajibann hidupnya masing-masing dengan dipotong, dimakan dan atau digunakan keperluan hidup umat manusia.

Dan semua mengajukan pertanyaan, apakah darmanya manusia telah dilaksanakan untuk kepentingan dunia dan isinya. Dengan terus berlarian kian kemari, Bapak Mei Kartawinata ,emcoba menghindarkan pertanyaan itu, namun tetap tidak berhasil

Lain hal nya dengan Bapak M. Rasyid yang hidupnya di masa lalu penuh dengan pemuasan nafsu tanpa menghiraukan perasaan orang lain, seakan-akan semuanya ada yang memusuhinya. Kerba, kambing yang ada di tegalan semua menerjang.

Bahkan perempuan-perempuan yang dijumpainya menyerang dan memukulinya dengan segala apa yang ada untuk dipukulkan, maka lahirlah WANGSIT :

  1. Apabila pengetahuan disertai kekuatan raga dan jiwamu digunakan secara salah untuk memuaskan hawa nafsu, akan menimbulkan dendam kesumat, kebencian, pembalasan dan perlawanan. Sebaiknya apabila pengetahuan dan kekuatan raga dan jiwamu digunakan untuk menolong sesame akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan yang mendalam.

Lain halnya dengan Bapak Sumitra yang setiap kali menemui bangkai binatang apa saja, beliau memungut dan menangisinya serta merawat / membungkusnya dengan baik layaknya jenazah manusia. Dan kemudian menguburnya dengan baik pula. Maka lahirlah WANGSIT :

  1. Cintailah sesama hidupmu tanpa memandang jenis dan rupa, sebab apabila hidupmu telah meninggalkan jasad, siapapun akan berada dalam keadaan sama tiada daya dan upaya. Justru karena itu, selama kamu masih hidup berusahalah agar dapat memelihara kelangsungan hidup sesamamu sesuai dengan Kodratnya menurut kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Ketika ketiga bapak itu berkumpul kembali di pinggir kali tempat semula, di tengah kali terlihat batu besar yang menyolok. Terdengarlah suara petunjuk lirih, bahwa batu itu mengandung kekayaan.

Serentak dengan rak berpikir panjang, beliau bertiga masuk kali sambil mengeruk-keruk dan mencari-cari kekayaan, apakah gerangan yang ada di batu itu yang bias membuat kaya raya. Setelah beberapa waktu giat mencari dan tidak berhasil, beliau bertiga kembali ke pinggir, sambil terus mengamati batu itu. Selang beberapa saat, datanglah seorang tetangganya sekampung bernama Sukarlin yang membawa palu, pahat dan pikulan menuju batu itu.

Dengan penuh keheranan, ketiga Bapak itu melihat dan memperhatikan segala tingkah polah Pak Sukarlin yang langsung membelah-belah batu tersebut dan sesudah penuh terus di bawa pulang.

Dari itu, lahirlah WANGSIT :

  1. Batu di tengah kali, jikalau olehmu digarap menurut kebutuhan, kamu bias mwnjadi kaya raya karenanya. Dalam hal itu yang membuat kaya raya bukanlah pemberian batu itu, akan tetapi adalah hasil kerjamu sendiri.

Memang Pak Sukarlin menjadi kaya raya di kampungnya karena berjualan batu dalam bentuk kubikan, dan ketika beliau bertiga bersiap untuk pulang, terdengarlah WANGSIT :

  1. Geraklah untuk kepentingan sesamamu, bantulah yang sakit untuk mengurangi penderitaannya. Jaga ( bahasa Sunda = kelak, kemudian hari ) akan tercapai masyarakat kemanusiaan yang menegakkan kemerdekaan dan kebenaran.

Aksara Hirup

Aksara hirup atau sesajen, merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan wejangan-wejangan dari pinisepuh kepada anak didiknya, aksara hirup ini tidak luntur oleh perkembangan zaman, lain hal nya jika para pinisepuh memberikan wejangan berupa tulisan seperti sekarang, contohnya tulisan zaman leluhur dulu susah sekali dibaca oleh anak turunan pada saat ini, lain halnya dengan aksara hirup, dari dulu hingga sekarang yang sekolah maupun tidak sekolah akan menyatakan sama bahwa pisang pada zaman dahulu dan sekarang masih sama bernama pisang, Tidak berubah.